Etika Fotografi

Etika = Nilai, norma, hak asasi manusia/ dan rasa kemanusiaan. Ada beberapa batasan dalam memotret agar bisa menjadi fotografer yang sopan santun, beretika dan tidak sembarangan saat sedang berburu gambar. Berikut di antaranya:


1. Patuhi peraturan pengambilan gambar

Di beberapa tempat sering tertera keterangan “dilarang memotret”. Biasanya tulisan tersebut ada pada area publik seperti SPBU, Mall, Museum, hotel, Istitusi Kepemerintahan dan lain-lain. Larangan memotret yang diberlakukan biasanya berkaitan dengan kenyamanan orang lain, kemanan atau bahkan hak cipta. Jika kamu adalah seorang fotografer yang baik, seharusnya mematuhi aturan tersebut.


2. Perhatikan area saat akan menggunakan lampu flash

Saat foto panggung baik drama theater maupun konser di sarankan untuk tidak menggunakan flash karena dapat menggangu perform utama si artis maupun effect lampu sorot yang telah di setting di panggung, serta dapat mengubah kesan alur di dalamnya. contoh saat theater setting panggung pagi yang cerah ada kilatan flash seperti kilat petir yang mengubah suasana seperti akan hujan di sertai petir. Kalian pastinya tahu bagaimana ‘sambaran’ lampu flash kamera yang sangat silau. Di antara beberapa fotografer sering kali melanggar aturan penggunaan flash, terutama saat memotret di area publik. Orang yang merasa tidak nyaman akan sambaran flash bisa saja menegur kalian jika hal itu cukup mengganggu, termasuk di acara konser dan tempat-tempat ibadah.


3. Meminta ijin saat akan memotret orang lain

Hal ini tentu sangat penting, jangan merasa seolah kamu datang dari kota pergi ke desa lalu dengan sesuka hati memotret orang di perkampungan yang sedang melakukan aktivitasnya. Sebelum itu, mintalah ijin terhadap orang yang akan kamu foto, karena mungkin saja orang tersebut tidak ingin diambil gambar. Selain itu, memotret orang asing berarti kita juga sudah memasuki area privacy mereka. Terangkan pada mereka untuk apa kamu memotret, apakah untuk dokumentasi pribadi, jurnalistik atau untuk tujuan komersil. Hal ini juga berlaku apabila Anda sedang berburu foto dijalanan atau populer disebut Street Photography.


Ada kalanya kita sebagai fotografer sebelum melakukan pemotretan terhadap subjek manusia perlu melakukan pendekatan, perkenalan dan datang tidak sebagai fotografer tapi sebagai teman.


Tips memotret orang, yakni:


a. Minta ijin, kalau perlu jangan perlihatkan dahulu kamera kita,


b. Bertanya apa saja sebelum memotret dan sampaikan maksud kamu saat mau memotret, bisa jadi akan ada inspirasi banyak saat kita bicara dahulu dengannya, menyapanya, seperti menanyakan nama, umur, pekerjaan keluarga, sampai hal remeh-temeh lainnya. Ketika mereka balik bertanya buat apa foto itu? Katakan dengan benar apa adanya. Misalnya untuk sekedar belajar atau kepentingan pemberitaan yang baik. Jika mereka paham kita lega, namun jika mereka keberatan, jangan coba-coba mempublish secara umum. Selain tidak menghormati privacy, mereka juga bisa menuntut kita.


c. Tunjukkan hasil foto saat itu (jika pake digital) untuk membuat mereka nyaman dan yakin dengan kita,


d. Catat kontak mereka, nomor handphone, alamat rumah, dan lainnya. Suatu saat kita dengan mudah akan menemukan mereka jika ada cerita yang relevan dengan foto kita kelak, dan jangan lupa bilang terima kasih dan memohon maaf jika telah membuat mereka terganggu.


4. Hormati dan jaga object/model yang kamu potret

Hal ini khususnya pada foto model wanita, kamu harus bersikap sopan terhadapnya dan jangan terkesan memerintah, memintalah dengan sopan. Selain itu, menyentuh model wanita juga merupakan hal yang sangat tidak sopan di Indonesia dan bisa membuat model tersebut menjadi tidak nyaman. Intinya, jalin komunikasi dengan baik.


Termasuk ke flora fauna, fotolah senatural mungkin dan tidak melakukan setting secara paksa dan kasar untuk menghasilkan gambar yang sempurna. Di lingkungan Landscape wisata alam yang kamu kunjungi juga tidak di pekenankan membuang sampah sembarangan dan merusak keadaan/ fasilitas-fasilitas yang ada didalamnya.

Contoh Peristiwa Frog Wearing Umbrella Natgeo

5. Memotret ‘disturbing picture’

Entah masuk dalam kategori apa jika kamu memotret orang yang sedang terluka parah setelah mengalami kecelakaan. Hal ini tidak akan mendapat pujian apapun dan mungkin kamu akan mendapat hujatan. Jaman sekarang semua ingin eksis di sosmed? Salah satu cara yang paling sering dipilih adalah rajin update dengan kejadian – kejadian yang ada, bahkan ikut berperan pula sebagai salah satu penyebar informasi terbaru. Dan bermunculanlah “wartawan dadakan” atau biasa disebut citizen journalism (jurnalisme warga).


Perlu kita ketahui bahwa bentuk postingan seperti itu yang menampilkan gambar – gambar mengerikan seperti korban kekarasan dengan luka – luka berdarah, orang yang dibacok, mayat korban kecelakaan yang kepalanya meleber dan ususnya terburai dan lain – lain adalah bukan hal yang patut ditampilkan sebagai sebuah berita. Secara Etika hal tersebut merupakan suatu bentuk tindakan yang tidak bermoral, karena menampilkan gambar yang tidak menunjukkan sisi kemanusiaan kita sama sekali. Bisa kita bayangkan bagaimana perasaan si korban ataupun keluarganya melihat gambar tersebut dengan leluasa bertebaran di sosmed.

Apakah kita tidak malu, sedih. ataupun sakit hati? Untung apa pula kita menyebarkan foto mengerikan tersebut? Satu hal lagi, mengenai orang dengan kecacatan. Seringkali kita seenaknya mengambil gambar mereka lalu meng-upload gambar mereka di sosmed, dengan alasan biar orang – orang lain melihat mereka, kemudian tergerak untuk membantu.

Dalam hal ini jurnalis mempunyai kode etik sendiri dan tidak sembarangan mempublikasikannya. Jika memang harus dipublikasikan, biasanya bagian yang tidak lazim akan dibuat ‘blur’. 

Contoh Peristiwa Cevin Carter 

Ini adalah foto Cevin Carter, tentang kelaparan di Sudan. Foto yang membuatnya meraih penghargaan Fulitzer, sekaligus yang juga membuatnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.


Menolong atau Memotret?

Menolong atau memotret? Ini adalah pertanyaan manusiawi yang muncul di benak setiap fotografer, terutama wartawan foto, ketika menjumpai suatu peristiwa yang berhubungan dengan keselamatan jiwa orang lain. Bahkan, tidak sedikit pihak yang mencela bahwa wartawan foto tidak memiliki rasa kemanusiaan, karena lebih mementingkan bidikan kameranya dibanding jiwa atau nyawa korban yang tergeletak di depannya.


Dalam banyak kasus yang berhubungan dengan keselamatan jiwa orang lain itu, wartawan foto (forografer) memang sering dihadapkan pada persoalan batin yang sulit. Tugas utama wartawan foto adalah memotret. Kewajiban profesinya sebagai wartawan foto yang bertugas memotret telah membuatnya terpaksa harus mengenyampingkan naluri kemanusiaannya untuk menolong. Sekalipun mungkin, langkahnya itu telah mengakibatkan jiwa orang lain menjadi tidak bisa tertolong lagi.

Dalam persoalan batin yang sulit seperti itu, ada beberapa contoh kasus yang menarik untuk disimak. Salah sari di antaranya kisah yang dialami Kevin Carter, seorang wartawan foto lepas dari Kantor Berita Reuters dan Sygma Photos New York di Afrika Selatan. Tahun1993 ia mendapat tugas dari Reuters untuk meliput kasus kelaparan yang terjadi di Sudan.


Salah satu foto hasil liputannya di Sudan itu telah mendapatkan Hadiah Pulitzer tahun 1994. Hadiah Pulitzer merupakan penghargaan paling bergengsi bagi insan pers di Amerika Serikat. Foto Kevin Carter yang meraih Hadiah Pulitzer itu menampilkan gambar seorang anak kecil yang kurus kering karena kelaparan tertunduk tak berdaya di jalanan sunyi. Sedang hanya beberapa langkah di belakang anak kecil itu terdapat seekor burung pemakan bangkai. Burung itu seperti sedang menunggu kesempatan untuk melahapnya. Anak kecil yang tak berdaya itu sebelumnya terjatuh dari atas kendaraan yang membawa rombongan penduduk yang menuju ke posko pembagian makanan. Entah mengapa tidak seorang pun dalam rombongan penduduk tersebut yang mengetahui jika anak kecil itu terjatuh dan tertinggal.


Kevin Carter yang melihat si anak terjatuh dan tertinggal, kemudian ditunggui seekor burung pemakan bangkai, tidak mensia-siakan moment yang menarik itu. Ia langsung memotretnya. Sehabis memotret beberapa kali, ia pun segera bergegas meninggalkan anak kecil itu, karena ingin secepatnya sampai di lokasi posko pembagian makanan, agar tidak tertinggal peristiwa-peristiwa menarik lainnya.


Tapi beberapa hari kemudian, Kevin Carter dilanda kegelisahan dan penyesalan yang dalam. Ia gelisah memikirkan nasib anak kecil kurus tak berdaya yang tertunduk di jalanan kering dan ditunggui seekor burung pemakan bangkai itu. Dalam pikirannya, anak kecil itu kemudian meninggal dan disantap burung pemakan bangkai. Ia dilanda perasaan bersalah yang sangat besar.

Perasaan bersalah karena tidak menyelamatkan anak kecil itu terus dibawanya sampai pada saat menerima Hadiah Pulitzer tersebut di New York pada tanggal 23 Mei 1994. Hadiah penghargaan bergengsi itu tidak mampu menghapus perasaan bersalah yang menyesak-nyesak di dadanya. Kevin Carter benar-benar mengalami penderitaan batin yang dahsyat, Klimaksnya, dua bulan kemudian, tepatnya di bulan Juli 1994, ia ditemukan tewas di rumahnya, di Johannesburg, Afrika Selatan. Ia tewas bunuh diri dengan meninggalkan selembar surat. Di dalam surat terakhirnya itu, Kevin Carter menyatakan dirinya tidak kuat mengalami penderitaan batin karena telah mengutamakan profesinya dibandingkan kewajiban kemanusiaannya.


Tragisnya, anak kecil yang terabadikan di dalam fotonya, yang semula diperkirakan telah meninggal dan dimakan burung pemakan bangkai itu, ternyata masih hidup. Beberapa hari setelah kematian Kevin Carter, media-media di Amerika Serikat pun gencar memberitakan bahwa anak kecil di fotonya itu masih hidup, karena kemudian ada orang lain yang menolongnya.

Pertanyaannya, apakah Kevin Carter telah melanggar etika dalam fotografi? 

6. Berhenti memotret jika mengganggu

Hal ini berlaku setiap saat dan dimanapun anda berada. Sebagai contoh kasus perayaan Waisak di borobudur, jika kamu sudah mendapat teguran karena mengganggu, seharusnya kamu lekas menghentikan aktivitas memotret. Atau akan lebih baik jika kamu sadar diri bahwa aktivitas memotret kamu menganggu. Tidak semua orang biasa difoto, bahkan lebih banyak orang yang merasa canggung bila difoto. 

Contoh Peristiwa Borobudur 25 Mei 2013

Ada sebuah insiden beberapa saat lalu yang membuat tercorengnya dunia fotografi, yakni pada saat perayaan hari raya Waisak pada tanggal 25 Mei 2013. Saat itu perayaan Waisak yang dipusatkan di Candi Borobudur sangat ramai oleh pengunjung dan ratusan fotografer siap dengan kameranya. Belum termasuk pengunjung lain yang juga membawa kamera meski hanya kamera saku. Mirisnya, saat para biksu sedang memanjatkan doa di bagian atas Candi, banyak sekali fotografer yang merangsek masuk dan ‘menjepretkan’ kamera mereka dengan beringas tanpa permisi dan membuat kegaduhan.


Meskipun cahaya sorotan dari lampu cukup terang, tetap saja para fotografer menyalakan flash mereka. Tentunya hal ini sangat mengganggu peribadatan umat Budha yang sedang berkonsentrasi dalam berdoa. Kegaduhan semakin menjadi ketika para fotografer berebut posisi untuk mendapatkan angle terbaik, bahkan ada yang sampai naik ke stupa dan mendekat hingga 2 meter kepada biksu. Tentunya hal ini sungguh terdengar miris, dan tidak akan terjadi bila rekan-rekan fotografer mengetahui tentang aturan dan etika dalam memotret.

7. Hati-hati dengan eksploitasi

Di beberapa negara maju ada larangan untuk memotret anak-anak yang sedang bermain di area publik, hal ini dikhawatirkan akan menjadi eksploitasi. Mungkin di Indonesia masih tergolong bebas, namun bukan berarti Anda sesuka hati memotret anak-anak, apalagi yang belum dikenal. Selain itu beberapa orang juga menganggap bahwa memotret gelandangan di jalan merupakan sebuah eksploitasi.


Di beberapa negara maju seperti Australia dan Perancis mereka punya undang-undang tegas tentang perlindungan anak, maka memotret mereka lagi bermain sekalipun, tanpa ijin orang tuanya akan membawa kita ke panjara karena bisa sianggap sebagai kagiatan eksploitasi anak.

hukum privasi Prancis bahkan disebutkan, siapapun yang mempublikasikan dan mendistribusikan foto seseorang tanpa meminta izin bisa dikenakan hukuman penjara hingga satu tahun dan denda 45.000 euro


Kenapa tidak boleh memotret/mengupload foto anak?


Pertama, memposting foto-foto anak ini berarti kamu merekam jejak digital mereka. Suatu hari, saat anak masuk sekolah, mereka mungkin tidak ingin foto-foto mereka saat bayi, saat lagi telanjang dan menggunakan popok saja misalnya, bertengger di dunia maya dan dilihat oleh teman-teman mereka. Anak bisa saja merasa dieksploitasi.

Kedua, kamu memposting foto di media sosial, foto-foto itu tidak lagi dapat kamu kontrol penggunaannya. Orang lain bisa saja dengan mudah menyalin foto tersebut, lalu men-tag, menyimpan, atau menggunakannya untuk keperluan komersil, donasi, dll. yang nantinya dapat merugikan si pemilik foto. Anda tidak pernah tahu jika suatu saat nanti anak kamu sudah besar menjadi tokoh terkenal/artis.